sebelum abad 20 busur dan panah telah dikenal di Sulawesi
Dari sebuah tulisan berjudul
Benteng Art Deco Peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo
Disebutkan
...Masuk lebih ke dalam, pengunjung akan menjumpai bangunan-bangunan art deco yang kental dengan nuansa negeri kincir angin Belanda – dengan bangunan berpintu tinggi menjuntai dilengkapi banyak jendela. Bangunan-bangunan tersebut kini difungsikan sebagai museum yang menyimpan berbagai peninggalan kuno dari Sulawesi Selatan. Salah satu bangunan tersebut kini dijadikan sebagai Museum I Lagaligo. I Lagaligo merupakan karya sastra terpanjang yang pernah ada di dunia. Karya ini bercerita tentang seorang Dewa utusan Tuhan yang diturunkan di tengah masyarakat Sulawesi. Karena dianggap suci, naskah I Lagaligo dijaga dan dipelihara dengan baik di museum ini.
Di bagian yang lain, terdapat museum yang menyimpan berbagai senjata tradisional yang pernah digunakan oleh berbagai kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan. Koleksi tersebut antara lain badik dengan berbagai pamor, panah yang mata panahnya terbuat dari besi, dan tombak yang pernah digunakan oleh prajurit Kerajaan Gowa. Pengunjung tidak perlu khawatir jika tidak mengenali berbagai senjata tradisional yang ada, pasalnya museum ini dilengkapi dengan penjelasan di setiap senjata yang dipamerkan.
Selain terdapat museum dan bangunan kuno, Fort Rotterdam juga dilengkapi berbagai fasilitas penunjang lainnya, seperti perpustakaan, taman bunga, dan free wifi di beberapa titik. Yang menarik, kawasan Fort Rotterdam juga sering dijadikan lokasi pergelaran kesenian dan kebudayaan daerah setempat. Oleh karena itu, tempat ini sangat cocok sebagai tempat wisata keluarga. Selain bisa mendapatkan informasi mengenai sejarah, pengunjung juga akan dimanjakan dengan berbagai hiburan. Apalagi, di sekitar Fort Rotterdam juga terdapat banyak tempat wisata kuliner yang menyajikan berbagai menu andalan. [AhmadIbo/IndonesiaKaya]
Panah kerajaan Bone disebutkan oleh James brooke
Panah kerajaan Bone disebutkan oleh James brooke
(Bagian I)
Pertemuan dengan Petta PonggawaE dan Datu Lompulle
James Brooke adalah petualang Inggris. Meninggalkan Inggris di November 1838 beserta 19 kru lainnya. Berlayar menuju Rio de Janiero Brasil dan melanjutkan ke India dan Singapura. Di Singapura, berangkat ke Kalimantan khususnya Sarawak kemudian kembali lagi ke Singapura.
Tahun baru, 1 Januari 1840 James Brooke kemudian berlayar ke Sulawesi. Dalam catatannya, (sebagaimana para pelaut) ia menyebut puncak bantaeng (bonthain hill) atau lompobattang sebagai titik selatan Sulawesi. Ia kemudian disambut oleh aparat Belanda. Daeng Matara (dain matarah), menjadi guide James Brooke sepanjang perjalanannya. Dari Bantaeng, James Brooke melanjutkan perjalanannya ke Bulukumba.
Dari Bulukumba, James Brooke berlayar menyisir teluk Bone hingga ke berlabuh di BajoE, dengan harapan agar bisa bertemu dengan Arumpone. James Brooke melalui penerjemahnya Mr. Poon mengirim surat dan diterima Tomarilaleng (Perdana Menteri). Keduanya berkorespondensi. James Brooke ~sambil menunggu kesempatan audiens dengan Raja Bone~ mempelajari sistem pemerintahan Kerajaan Bone yang disebutnya kerajaan terkuat di Sulawesi.
Pelayaran James Brooke dilanjutkan ke Tanjung Palette. Ia bertemu dengan sekelompok orang Bajo. Didepan Sungai Cenrana, Daeng Matara dikirim untuk mengumpulkan informasi Wajo dan kembali. James Brooke bersiap untuk bertemu dengan Petta PonggawaE (rajah pengawa)
Sekitar 50-60an perahu berbagai ukuran mengiringi Petta PonggawaE. Pertemuan dengan James Brooke dimulai dengan saling memuji oleh keduanya. James Brooke menjelaskan posisinya sebagai petualang yang tak terikat dengan satu pemerintahan apapun. Dan terjadilah dialog yang mengesankan bagi James Brooke
PP (Petta PonggawaE) : Apa yang menyenangkan anda sehingga datang dari jauh ?
JB (James Brooke) : Sulit bagi anda memahami betapa banyak orang Inggris yang suka mengunjugi berbagai negeri. Mereka semua adalah petualang. Termasuk saya. Senang untuk mengunjungi luar negeri
PP : Apakah anda menerima bayaran ?
JB : Tidak
PP : Apakah anda berdagang
JB : Tidak
PP : Ketika anda di Inggris, apakah anda berdagang ?
JB : Tidak
PP : Bagaimana cara anda hidup ?
JB : Saya mengikuti keberuntungaku
PP : Maka anda harus punya relasi dengan ratu ?
JB : Saya tidak memiliki kehormatan tersebut
PP : Mana yang lebih kuat, Inggris atau Belanda ?
JB : Tentu "Inggris"
PP : Apakah mereka (Inggris dan Belanda) bersahabat ?
JB : Ya
PP : Apakah Rusia adalah negara yang sangat kuat ?
JB : Ya
PP : Apakah sekuat Inggris ?
JB : Rusia sangat kuat, tapi dalam pendapat saya, Inggris dan Prancis adalah yang terkuat
PP : Apa yang terjadi pada (Napoleon) Bonaparte setelah Inggris memenjarakannya
JB : Ia meninggal di St. Helena
PP : Bagaimana Inggris menyerahkan Jawa dan negeri negeri lain kembali pada Belanda setelah menguasainya ?
JB : Inggris mengambil negara negara tersebut dari Prancis (Prancis mengalahkan Belanda saat perang Bonaparte) dan setelah perang usai, Inggris menyerahkan kembali pada Belanda.
PP : Apakah Belanda membayar upeti kepada mereka ?
JB : Tidak
James Brooke menggambarkan Petta PonggawaE sebagai orang yang berusia sekitar 45 tahun, berkulit gelap dan bertubuh agak pendek, berwajah ekspresif, Petta PonggawaE ditemani oleh Daeng Palawa (dain palawa) yang lebih muda dan berwajah tampan. Ia menggambarkan iring-iringan yang berjumlah sekitar 600 orang itu dengan perahu yang bervariasi dan dilengkapi BUSUR PANAH.
Setelah pertemuan itu, tiba utusan yang membawa surat dari La Patongai. La Patongai menjelaskan bahwa ia tidak dapat hadir secara langsung berhubung ibundanya (We Muddariyah Ranreng Talotenreng) sedang sakit parah. Tanggal 21 Januari 1840, James Brooke mengirim utusan untuk membalas surat tersebut. Balasan dari La Patongai (Lappa Tongi) bahwa ibundanya telah meninggal dunia. Ia meminta James Brooke agar menuju Peneki, Beberapa hari kemudian, setelah lepas jangkar di Manruluwatu, James Brooke menuju Batu Manu (Batu Mano = perbatasan) menuju Tanjong Setange dan menurunkan jangkarnya di Pantai Peneki.
Seminggu kemudian, terjadi pertemuan pertama La Patongai dengan James Brooke di Doping. Lapatongai diiringi pengikutnya dan dua raja lainnya. Ia menggambarkan La Patongai sebagai orang yang berusia 45 atau 48 tahun yang berwajah melankolis dan tenang. Mengenakan baju beludru dengan hiasan bunga emas. Baju jas tutup hingga tenggorokan. Tiap lengannya dihiasi emas yang melingkar. Bercelana dibawah lutut diatas mata kaki yang agak longgar dari bahan yang sama. Celana yang dihiasi sekitar 6-8 real emas. Mengenakan sarung dibordir emas biru melilit dipinggangnya yang terselip keris emas berhias permata. Tutup kepala dari emas berukir
http://www.diskusi-lepas.id/2014/09/perjalanan-james-brooke-ke-sulawesi.html?m=1
Panah diKalumpang Mamuju
Dari buku kebudayaan Kalumpang.{Hasil ekspedisi ke Kalumpang
tahun 1933 berbuah informasi menarik, sehingga J. Caron
dan A.A. Cense berinisiatif mengundang van Stein Callenfels. Stein Callenfels diundang khusus
untuk meneliti situs di Kalumpang pada tahun itu juga dan diberi tugas segera menyelamatkan
data kebudayaan penting tersebut. Callenfels langsung mengunjungi Kalumpang tahun 1933.
Penggalian arkeologis (ekskavasi) pertama Callenfels di Kalumpang dilakukan di situs Bukit Kamasi.
Hasil Callenfels dari Bukit Kamasi, membuka tabir gelap kebudayaan Kalumpang dan membuat
para ilmuan setelahnya bisa merasakan daya pikat romantis alat-alat batu Hoabinhian, berbagai
kapak dan beliung, mata panah, dan gerabah. Meskipun demikian, percobaan ekskavasi perdana
Callenfels masih menimbulkan rasa penasaran, karena ia mengupas lapisan tanah tidak in-situ
(sudah terganggu aktivitas penduduk), sehingga beberapa artefak dari lapisan budaya periode
berbeda tercampur. Kawasan Kalumpang pasca penelitian Callenfels masih bagai kapal tenggelam,
baru terkuak potongan ujung tiang layarnya, tetapi namanya terhapus, awaknya hilang, dan
belum seorangpun yang bisa berkisah dari mana datangnya, siapa pemiliknya, dan seberapa lama
berlayar, serta apa yang menyebabkan tenggelam.}
Mengenai mengapa tradisi memanah Sulawesi ditinggalkan kasusnya mungkin sama dengan sumpit dahulu pasukan sumpit mandar begitu ditakuti Belanda kini tradisi sumpit mandar hampir saja lenyap tapi saya berusaha melestarikan tradisi menyumpit dimandar dan bisa dikatakan kebiasaan menyumpit ini tersambung ke orang orang dulu di mandar , orang mandar sekarang lebih memilih membawa tombak daripada sumpit.
Komentar
Posting Komentar