MAMUJU DALAM CATATAN DALTON Tahun 1827-1828.
by Arman Husain on Thursday, May 16, 2019 in Sejarah
Mamuju adalah sebuah perkampungan besar diwilayah pesisir barat Sulawesi yang bertopografi dataran tinggi dan rendah. Wilayah sepanjang utara bagian barat sampai selatan adalah deretan pegunungan dan perbukitan dengan hutan dan tumbuh berbagai jenis tanaman subur. Disepanjang pesisir pantai dan daratannya tumbuh dengan subur kelapa yang menjadi komoditas perdagangan penduduk yang paling utama selain sagu. Sagu adalah makanan pokok penduduk Mamuju kala itu. Mamuju saat itu yang jumlah penduduknya hanya berkisar 2500 orang kepala keluarga, pada malam hari terlihat cahaya terang dari rumah- rumah penduduk diatas perbukitan dan dekat pantai, mereka membakar kayu atau api unggun sebagai penerangan. Terlihat perikehidupan penduduk Mamuju ini sangat mirip dengan beberapa suku bangsa yang ada di Nusantara mereka hanya mengandalkan sumber makanan dari bercocok tanam dan melaut. Terlihat kala itu masih terdapat kesamaan dengan orang – orang pedalaman Kalimantan seperti dalam berpenampilan menggunakan perhiasan atau manik-manik dan memakai senjata tajam tradisional tapi tidak memiliki praktek dalam ritual adat mereka memburu dan memotong kepala musuh seperti orang Dayak di Kalimantan.
Laporan John Dalton "Mamoodjoo In Mandhaar" 1827-1828
Pada bulan November 1827 satu bulan sebelum kedatangan Dalton ke Mamuju telah terjadi pembakaran dan perampokan di daerah ini, seorang kepala perampok bernama Sindana (?) bersama - sama dengan komplotannya membakar sebahagian besar rumah- rumah penduduk. Beberapa orang terbunuh dan menangkap kurang lebih 300 orang yang sebagian besar adalah anak-anak dan perempuan ditawan dan sebagian dijadikan budak. Bahkan selama Dalton menetap di Mamuju selama 10 minggu, wilayah Mamuju telah didatangi dua kawanan perompak lainnya yang satu berasal dari Kaili dan lainnya berasal dari Pambowan Mandar, setelah sebelumnya rumah-rumah penduduk yang terbakar dan sebagian penduduk kembali setelah melarikan diri ke pegunungan, mereka harus kembali dirampok dan dijarah oleh para perampok dari Kaeili, mereka menembaki kampung ini dan mengambil setiap perahu nelayan yang ditambatkan dipantai. Mereka berjumlah hingga 134 kapal dari berbagai ukuran menakut-nakuti penduduk Mamuju dengan tembakan meriam dari pantai, sampai pada saat itu tiba pula perompak dari Pambowang Mandar dan berhasil mengusir perompak dari Kaeli ini. Namun perompak ini tidak jauh berbeda dari yang lainnya, mereka memaksa Raja Mamuju untuk mengumpulkan harta benda penduduk, sebagai bentuk upah atas jasa mereka mengusir perompak dari Kaeli. Para perompak ini menggunakan bendera kerajaan Belanda sebagai bentuk penyamaran agar penduduk tidak curiga sebelumnya dengan menyangka bahwa kapal – kapal ini adalah milik kerajaan Belanda yang sedang berlayar.
Mereka tidak pandai menanam Padi disebabkan belum ada pengetahuan mereka bersawah seperti kebanyakan masyarakat di Kaili dan Kalimantan, penduduk Mamuju hanya mengandalkan sagu sebagai bahan makanan pokok yang memang tumbuh subur ditanah ini, beberapa kawasan ke Tenggara, Timur dan Selatan di kampung Mamuju adalah hutan pohon sagu yang tumbuh subur memanjang sejauh mata memandang. Dan kebanyakan itu adalah milik Raja dan menyewakannya kepada penduduk untuk dikelola kemudian sebahagian hasilnya diserahkan kepada Raja Mamuju setiap tahunnya sedangkan beras adalah makanan mewah yang hanya dapat diperoleh dengan membeli dari pedagang yang datang dari Kaili, Passier dan Kutai, walaupun beras tersebut kualitasnya sangat rendah tapi tetap merupakan bahan makanan yang mahal dan tidak semua keluarga mampu untuk membelinya, diperkirakan hanya sekitar 250 keluarga yang bisa mengkomsumsi beras. Hanya orang – orang yang mampu membeli gabah itupun mereka hanya mengkumsumsi beras setelah kapal – kapal dagang dari Kaili merapat kepantai Mamuju, adapun beras yang biasa datang dari Passier atau Kutai (Kalimantan) yang biasa membawa beras dengan kualitas yang bagus namun harganya sangat mahal, sehingga sagu tetap menjadi pilihan untuk dijadikan makan pokok penduduk Mamuju.
Aktifitas ini merupakan profesi sebahagian besar penduduk pribumi asli suku Mamuju, mereka merawat dan mengumpulkan hasil panen sagu ini kepada para bangsawan dan orang kaya Bugis yang ada di Mamuju dan memperoleh upah atas kerja mereka seperti; garam, gula, perhiasan, dan kain dan bagian atas sagu yang mereka kelola. Waktu terbaik biasanya mereka mengelola sagu yang sudah berumur 8 dan 10 tahun sampai 35 tahun, karena jika sudah lewat dari periode itu maka pohon sagu akan membusuk dan berulat. Pohon sagu yang berumur sepuluh tahun akan tumbuh sampai ketinggian 27 kali dan 5 sampai 8 kaki dari pangkal pahon akan terus menerus dapat di panen selanjutnya selama 2 sampai 3 bulan, yang biasanya tebal sagu telah mencapai 3 sampai 5 inchi sesuai kualitas tanah tempat tumbuh pohon.
Selain sagu, kelapa adalah tumbuhan jenis palem yang paling banyak tumbuh diwilayah ini dan menjadi komoditas unggulan dalam aktifitas perniagaan masa itu, hampir disepanjang pesisir pantai Mamuju banyak tumbuh kelapa selain kuantitas juga kualitas kelapa dari wilayah Mandar utamanya di Mamuju adalah kelapa yang paling banyak dicari oleh pedagang- pedagang lokal. Selain kualitasnya yang bagus harga kelapa di Mamuju juga murah sampai 200 real perbiji, lebih murah dari kelapa di wilayah Kaeili yang berkisar 300 sampai 350 real dan harganya lebih mahal lagi jika kelapa masih muda dibanding kelapa yang tua. Hampir setiap penduduk di Kampung ini memiliki aset tanaman ini dan menjadi barang unggulan untuk dipasarkan. Bahkan masyarakat Mandar kala itu telah mampu membawa barang dagangan mereka sendiri keberbagi wilayah untuk dipasarkan seperti ke Kalimantan, Makassar bahkan sampai ke Singapura.
Penduduk Mamuju juga telah mengenal cara menangkap ikan dan mengambil kerang-kerangan dilaut untuk dijadikan bahan makanan pendamping sagu (lauk). Pribumi Mamuju bukanlah pelaut ulung seperti penduduk dari daerah Mandar lainnya, mereka hanya suka berdagang dan bercocok tanam dan tidak mahir dilaut. mereka mengumpulkan kerang-kerangan, kepiting dan ikan laut pada saat air terjadi pergantian pasang surut laut disepanjang pantai. Ini dilakukan pada saat bulan purnama ketika air laut surut mereka menggunakan sampan kecil dan kebanyakan yang melakukan adalah perempuan dan anak-anak. Hasil tangkapan mereka kadang kala dijual kepada Raja bahkan kepada kalangan bangsawan dan orang – orang Bugis yang lebih kaya, walaupun dijual dengan harga yang sangat murah tetapi mereka tak punya pilihan selain itu demi mencukupi kebutuhan hidup mereka untuk mendapatkan sedikit kebutuhan dapur seperti; garam, gula dan tembakau, yang biasa didapatkan dari pedagang yang datang dari Makassar dan Kaeili. Mereka membeli kebutuhan mewah seperti beras dan gula hanya ketika akan melangsungkan acara-acara seperti perkawinan ataupun kelahiran seorang anak. Selain berdagang kelapa biasanya untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka juga sudah mahir membuat kain tenunan (sarung) yang biasanya dikerjakan oleh kaum perempuan dan keluarga yang memiliki budak akan membantu mereka membuat tenunan sepanjang hari yang akan dijual seharga 2 real atau 4 Rupee perhelai kainnya.
Di Mamuju kebiasaan menghisap candu (opium) sudah ada sejak dahulu, bahkan ini adalah kegiatan yang sangat rutin dilakukan oleh para bangsawan dan keluarga kerajaan kala itu. Ketika seorang utusan yang datang dari Makassar membawa surat, dia harus menunggu selama 2 hari untuk mendapatkan balasan surat dari Raja, agar raja benar-benar sudah sadar dari rasa mabuk opium. Komsumsi candu ini hanya terbatas pada kalangan yang mampu membelinya saja seperti bangsawan dan kaum kaya saja. Konsumsi opium di Mamuju adalah 5 sampai 6 peti pertahunnya, harga perpeti biasanya 2000 sampai 2400 real perkeranjang/ peti. Dikatakan dalam catatannya bahwa Raja dan beberapa bangsawan dan keluarganya memiliki harta kekayaan berupa emas yang banyak dan memiliki fasilitas hidup yang sangat mewah. Ini dikarenakan di beberapa bahagian wilayah kerajaan Mamuju terdapat banyak tambang emas milik keluarga Raja yang akan diserahkan pada Raja 10 sampai 20 persen setiap tahunnya. Emas ini juga dijual ke Singapura dan Penang dengan harga 23 sampai 25 real perbuncal (?) di Singapura 30 Dolar / 78 Rupee Jawa. Salah seorang saudara Raja menawarkan kepada Dalton bahwa dia mampu membayar 10.000 buncal emas hanya dalam waktu 5 hari saja, dalam bentuk bongkahan dan serbuk jika mereka bisa mendapatkan senapan, meriam buatan Palembang, mesiu dan 5 peti opium.
Emas ini digunakan untuk membeli berbagai kebutuhan seperti: opium, mesiu Amerika, musket, gilingan dan barang lainnya berupa senjata meriam palembang (Lantaka). Untuk mesiu buatan Amerika ini mereka dapatkan dari Passier seharga 45 real perbarel/pikul yang biasanya harga bubuk Mesiu ini 30 hingga 90 Real/ Pikul, Senapan seharga 7 Dollar. Namun seringkali mesiu ini berapapun banyaknya hanya terbengkalai tidak digunakan oleh mereka walaupun telah dibeli dengan harga yang sangat mahal bahkan mereka akan menjualnya kembali ke Kaili atau ke tempat lain di Mandar. Sedangkan untuk candu (opium) mereka membeli dalam jumlah yang banyak untuk mereka konsumsi beberapa bulan kedepannya. Sepertinya kebutuhan candu dan mesiu lebih diprioritaskan dibanding dengan kebutuhan dasar lainnya sehingga kekayaan emas yang mereka simpan kadang mereka simpan hanya untuk membeli kedua barang ini. Tentang melimpahnya emas di Mamuju ini selalu mereka rahasiakan kepada orang – orang dari luar utamanya kepada perompak demi keselamatan awak kapal yang berlayar membawa dagangan ke Singapura. Berita ini juga dirahasiakan kepada para pedagang dari luar, pihak Belanda dan Inggris, karena jika mereka tahu akan kekayaan ini mereka tidak akan segan –segan akan menguasai Kerajaan ini, dan benar saja banyak perompak yang mengincar emas emas ini dengan menghancurkan dan menghabisi penduduk Mamuju saat itu demi harta berupa emas yang berlimpah disana.
Sumber : John Dalton, Notice Of Indian Archipelago And Adjacent Countries. J. H. Moor. In Published Singapore Chronicle 1831 (Terjemahan dan penulisan oleh Arman Husain 2019).
by Arman Husain on Thursday, May 16, 2019 in Sejarah
Mamuju adalah sebuah perkampungan besar diwilayah pesisir barat Sulawesi yang bertopografi dataran tinggi dan rendah. Wilayah sepanjang utara bagian barat sampai selatan adalah deretan pegunungan dan perbukitan dengan hutan dan tumbuh berbagai jenis tanaman subur. Disepanjang pesisir pantai dan daratannya tumbuh dengan subur kelapa yang menjadi komoditas perdagangan penduduk yang paling utama selain sagu. Sagu adalah makanan pokok penduduk Mamuju kala itu. Mamuju saat itu yang jumlah penduduknya hanya berkisar 2500 orang kepala keluarga, pada malam hari terlihat cahaya terang dari rumah- rumah penduduk diatas perbukitan dan dekat pantai, mereka membakar kayu atau api unggun sebagai penerangan. Terlihat perikehidupan penduduk Mamuju ini sangat mirip dengan beberapa suku bangsa yang ada di Nusantara mereka hanya mengandalkan sumber makanan dari bercocok tanam dan melaut. Terlihat kala itu masih terdapat kesamaan dengan orang – orang pedalaman Kalimantan seperti dalam berpenampilan menggunakan perhiasan atau manik-manik dan memakai senjata tajam tradisional tapi tidak memiliki praktek dalam ritual adat mereka memburu dan memotong kepala musuh seperti orang Dayak di Kalimantan.
Laporan John Dalton "Mamoodjoo In Mandhaar" 1827-1828
Pada bulan November 1827 satu bulan sebelum kedatangan Dalton ke Mamuju telah terjadi pembakaran dan perampokan di daerah ini, seorang kepala perampok bernama Sindana (?) bersama - sama dengan komplotannya membakar sebahagian besar rumah- rumah penduduk. Beberapa orang terbunuh dan menangkap kurang lebih 300 orang yang sebagian besar adalah anak-anak dan perempuan ditawan dan sebagian dijadikan budak. Bahkan selama Dalton menetap di Mamuju selama 10 minggu, wilayah Mamuju telah didatangi dua kawanan perompak lainnya yang satu berasal dari Kaili dan lainnya berasal dari Pambowan Mandar, setelah sebelumnya rumah-rumah penduduk yang terbakar dan sebagian penduduk kembali setelah melarikan diri ke pegunungan, mereka harus kembali dirampok dan dijarah oleh para perampok dari Kaeili, mereka menembaki kampung ini dan mengambil setiap perahu nelayan yang ditambatkan dipantai. Mereka berjumlah hingga 134 kapal dari berbagai ukuran menakut-nakuti penduduk Mamuju dengan tembakan meriam dari pantai, sampai pada saat itu tiba pula perompak dari Pambowang Mandar dan berhasil mengusir perompak dari Kaeli ini. Namun perompak ini tidak jauh berbeda dari yang lainnya, mereka memaksa Raja Mamuju untuk mengumpulkan harta benda penduduk, sebagai bentuk upah atas jasa mereka mengusir perompak dari Kaeli. Para perompak ini menggunakan bendera kerajaan Belanda sebagai bentuk penyamaran agar penduduk tidak curiga sebelumnya dengan menyangka bahwa kapal – kapal ini adalah milik kerajaan Belanda yang sedang berlayar.
Mereka tidak pandai menanam Padi disebabkan belum ada pengetahuan mereka bersawah seperti kebanyakan masyarakat di Kaili dan Kalimantan, penduduk Mamuju hanya mengandalkan sagu sebagai bahan makanan pokok yang memang tumbuh subur ditanah ini, beberapa kawasan ke Tenggara, Timur dan Selatan di kampung Mamuju adalah hutan pohon sagu yang tumbuh subur memanjang sejauh mata memandang. Dan kebanyakan itu adalah milik Raja dan menyewakannya kepada penduduk untuk dikelola kemudian sebahagian hasilnya diserahkan kepada Raja Mamuju setiap tahunnya sedangkan beras adalah makanan mewah yang hanya dapat diperoleh dengan membeli dari pedagang yang datang dari Kaili, Passier dan Kutai, walaupun beras tersebut kualitasnya sangat rendah tapi tetap merupakan bahan makanan yang mahal dan tidak semua keluarga mampu untuk membelinya, diperkirakan hanya sekitar 250 keluarga yang bisa mengkomsumsi beras. Hanya orang – orang yang mampu membeli gabah itupun mereka hanya mengkumsumsi beras setelah kapal – kapal dagang dari Kaili merapat kepantai Mamuju, adapun beras yang biasa datang dari Passier atau Kutai (Kalimantan) yang biasa membawa beras dengan kualitas yang bagus namun harganya sangat mahal, sehingga sagu tetap menjadi pilihan untuk dijadikan makan pokok penduduk Mamuju.
Aktifitas ini merupakan profesi sebahagian besar penduduk pribumi asli suku Mamuju, mereka merawat dan mengumpulkan hasil panen sagu ini kepada para bangsawan dan orang kaya Bugis yang ada di Mamuju dan memperoleh upah atas kerja mereka seperti; garam, gula, perhiasan, dan kain dan bagian atas sagu yang mereka kelola. Waktu terbaik biasanya mereka mengelola sagu yang sudah berumur 8 dan 10 tahun sampai 35 tahun, karena jika sudah lewat dari periode itu maka pohon sagu akan membusuk dan berulat. Pohon sagu yang berumur sepuluh tahun akan tumbuh sampai ketinggian 27 kali dan 5 sampai 8 kaki dari pangkal pahon akan terus menerus dapat di panen selanjutnya selama 2 sampai 3 bulan, yang biasanya tebal sagu telah mencapai 3 sampai 5 inchi sesuai kualitas tanah tempat tumbuh pohon.
Selain sagu, kelapa adalah tumbuhan jenis palem yang paling banyak tumbuh diwilayah ini dan menjadi komoditas unggulan dalam aktifitas perniagaan masa itu, hampir disepanjang pesisir pantai Mamuju banyak tumbuh kelapa selain kuantitas juga kualitas kelapa dari wilayah Mandar utamanya di Mamuju adalah kelapa yang paling banyak dicari oleh pedagang- pedagang lokal. Selain kualitasnya yang bagus harga kelapa di Mamuju juga murah sampai 200 real perbiji, lebih murah dari kelapa di wilayah Kaeili yang berkisar 300 sampai 350 real dan harganya lebih mahal lagi jika kelapa masih muda dibanding kelapa yang tua. Hampir setiap penduduk di Kampung ini memiliki aset tanaman ini dan menjadi barang unggulan untuk dipasarkan. Bahkan masyarakat Mandar kala itu telah mampu membawa barang dagangan mereka sendiri keberbagi wilayah untuk dipasarkan seperti ke Kalimantan, Makassar bahkan sampai ke Singapura.
Penduduk Mamuju juga telah mengenal cara menangkap ikan dan mengambil kerang-kerangan dilaut untuk dijadikan bahan makanan pendamping sagu (lauk). Pribumi Mamuju bukanlah pelaut ulung seperti penduduk dari daerah Mandar lainnya, mereka hanya suka berdagang dan bercocok tanam dan tidak mahir dilaut. mereka mengumpulkan kerang-kerangan, kepiting dan ikan laut pada saat air terjadi pergantian pasang surut laut disepanjang pantai. Ini dilakukan pada saat bulan purnama ketika air laut surut mereka menggunakan sampan kecil dan kebanyakan yang melakukan adalah perempuan dan anak-anak. Hasil tangkapan mereka kadang kala dijual kepada Raja bahkan kepada kalangan bangsawan dan orang – orang Bugis yang lebih kaya, walaupun dijual dengan harga yang sangat murah tetapi mereka tak punya pilihan selain itu demi mencukupi kebutuhan hidup mereka untuk mendapatkan sedikit kebutuhan dapur seperti; garam, gula dan tembakau, yang biasa didapatkan dari pedagang yang datang dari Makassar dan Kaeili. Mereka membeli kebutuhan mewah seperti beras dan gula hanya ketika akan melangsungkan acara-acara seperti perkawinan ataupun kelahiran seorang anak. Selain berdagang kelapa biasanya untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka juga sudah mahir membuat kain tenunan (sarung) yang biasanya dikerjakan oleh kaum perempuan dan keluarga yang memiliki budak akan membantu mereka membuat tenunan sepanjang hari yang akan dijual seharga 2 real atau 4 Rupee perhelai kainnya.
Di Mamuju kebiasaan menghisap candu (opium) sudah ada sejak dahulu, bahkan ini adalah kegiatan yang sangat rutin dilakukan oleh para bangsawan dan keluarga kerajaan kala itu. Ketika seorang utusan yang datang dari Makassar membawa surat, dia harus menunggu selama 2 hari untuk mendapatkan balasan surat dari Raja, agar raja benar-benar sudah sadar dari rasa mabuk opium. Komsumsi candu ini hanya terbatas pada kalangan yang mampu membelinya saja seperti bangsawan dan kaum kaya saja. Konsumsi opium di Mamuju adalah 5 sampai 6 peti pertahunnya, harga perpeti biasanya 2000 sampai 2400 real perkeranjang/ peti. Dikatakan dalam catatannya bahwa Raja dan beberapa bangsawan dan keluarganya memiliki harta kekayaan berupa emas yang banyak dan memiliki fasilitas hidup yang sangat mewah. Ini dikarenakan di beberapa bahagian wilayah kerajaan Mamuju terdapat banyak tambang emas milik keluarga Raja yang akan diserahkan pada Raja 10 sampai 20 persen setiap tahunnya. Emas ini juga dijual ke Singapura dan Penang dengan harga 23 sampai 25 real perbuncal (?) di Singapura 30 Dolar / 78 Rupee Jawa. Salah seorang saudara Raja menawarkan kepada Dalton bahwa dia mampu membayar 10.000 buncal emas hanya dalam waktu 5 hari saja, dalam bentuk bongkahan dan serbuk jika mereka bisa mendapatkan senapan, meriam buatan Palembang, mesiu dan 5 peti opium.
Emas ini digunakan untuk membeli berbagai kebutuhan seperti: opium, mesiu Amerika, musket, gilingan dan barang lainnya berupa senjata meriam palembang (Lantaka). Untuk mesiu buatan Amerika ini mereka dapatkan dari Passier seharga 45 real perbarel/pikul yang biasanya harga bubuk Mesiu ini 30 hingga 90 Real/ Pikul, Senapan seharga 7 Dollar. Namun seringkali mesiu ini berapapun banyaknya hanya terbengkalai tidak digunakan oleh mereka walaupun telah dibeli dengan harga yang sangat mahal bahkan mereka akan menjualnya kembali ke Kaili atau ke tempat lain di Mandar. Sedangkan untuk candu (opium) mereka membeli dalam jumlah yang banyak untuk mereka konsumsi beberapa bulan kedepannya. Sepertinya kebutuhan candu dan mesiu lebih diprioritaskan dibanding dengan kebutuhan dasar lainnya sehingga kekayaan emas yang mereka simpan kadang mereka simpan hanya untuk membeli kedua barang ini. Tentang melimpahnya emas di Mamuju ini selalu mereka rahasiakan kepada orang – orang dari luar utamanya kepada perompak demi keselamatan awak kapal yang berlayar membawa dagangan ke Singapura. Berita ini juga dirahasiakan kepada para pedagang dari luar, pihak Belanda dan Inggris, karena jika mereka tahu akan kekayaan ini mereka tidak akan segan –segan akan menguasai Kerajaan ini, dan benar saja banyak perompak yang mengincar emas emas ini dengan menghancurkan dan menghabisi penduduk Mamuju saat itu demi harta berupa emas yang berlimpah disana.
Sumber : John Dalton, Notice Of Indian Archipelago And Adjacent Countries. J. H. Moor. In Published Singapore Chronicle 1831 (Terjemahan dan penulisan oleh Arman Husain 2019).
Komentar
Posting Komentar