Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah kapal-kapal (yang berlayar) di laut seperti gunung-gunung. (QS. Asy-Syura: 32)
Referensi: https://www.dusturuna.com/quran/42-32/
Dari Indonesia.go.id
Jong, Sang Gargantua dari Laut Jawa
13 December 2019, 04:40 WIB
Wujud sangat besar bagaikan "gargantua" adalah kata yang mungkin paling pas untuk menggambarkan sebuah kapal raksasa yang pernah menjadi penguasa pelayaran samudera sejak awal penanggalan Masehi.
Ilustrasi perahu VOC. Foto: Int/Ilustrasi
Gargantua adalah kata yang digubah Francois Rabelais, penulis Prancis abad 16, untuk menggambarkan raksasa yang sangat besar dan rakus. Kamus Merriam-Webster menyebutkan, gargantua berasal dari bahasa Portugis yang merupakan serapan dari bahasa Berber di Afrika Utara. Bahasa Melayu menyerapnya menjadi "gergasi" yang mudahnya diterjemahkan sebagai "raksasa pemakan orang". Mitologi Eropa menyerapnya menjadi "ogre" yang artinya tidak lain adalah raksasa.
Wujud sangat besar bagaikan "gargantua" adalah kata yang mungkin paling pas untuk menggambarkan sebuah kapal raksasa yang pernah menjadi penguasa pelayaran samudera di awal penanggalan Masehi. Bahasa Melayu menyebutnya sebagai "jong", orang Jawa menyebutnya sebagai "jung", orang Portugis menulisnya sebagai "junco", sedangkan orang Arab menyebutnya sebagai "j-n-k" yang diucapkan mirip cara orang Iberia atau Portugis mengucapkannya.
Almarhum Denys Lombard adalah orang yang sangat hati-hati dalam menyebutkan sebuah istilah yang berasal dari masa lampau. Dalam buku Nusajawa: Jaringan Asia (2004), ketika menyebut tentang "jung" dari Asia Tenggara, Lombard menyebutnya sebagai kapal-kapal raksasa yang banyak dicatat oleh penjelajah Eropa berlayar di perairan "kun-lun" atau Laut Selatan. Istilah itu adalah istilah yang disukai oleh pencatat sejarah Tiongkok tentang perairan di sebelah selatan Tiongkok daratan yang membentang hingga pulau rempah.
Catatan Tome Pires, penjelajah Portugis abad 16, menyebut nama Pati Unus sebagai panglima yang memimpin armada pasukan laut dari sebuah kapal raksasa yang disebut sebagai "jung". Kapal itu begitu besar sehingga bisa menampung sekitar seribu penumpang. Banyak ahli yang menduga kata "jung" berasal dari perbendaharaan bahasa Tiongkok. Tapi peneliti sejarah, seperti Paul Pelliot, Waruno Mahdi, hingga Manguin, meyakini kata ini lebih tua dari riwayat pelayaran Samudera Cina yang bermula pada masa Dinasti Sung atau sekitar abad ke-10 masehi.
Jung adalah sebuah kapal raksasa dari zaman kuno yang nyaris hilang dari perbendaharaan sejarah. Pramoedya Ananta Toer dalam buku Arus Balik menyebutnya sebagai "kapal-kapal Majapahit" untuk membedakan dengan "jung" yang dia ceritakan sebagai kapal-kapal yang membawa para pedagang Tiongkok. Ukuran kapal Majapahit yang sangat besar dia lukiskan sebagai berikut,
"Dahulu adalah seorang anak desa, Nala namanya. Dia berasal dari sebuah kampung nelayan di Tuban. Seorang bocah yang oleh para dewa dikaruniai dengan banyak cipta. Untuk Majapahit dia ciptakan kapal-kapal besar dari lima puluh depa panjang dan sepuluh depa lebar. Bisa mengangkut sampai delapan ratus orang prajurit dan dua ratus tawanan. Kapal-kapal besar, terbesar di dunia ini, di seluruh jagad ini." (Arus Balik, 1995 hal - 852)
Kapal Dagang Asia Tenggara
Pierre-Yves Manguin, salah seorang kolega Denys Lombard di EFEO (Sekolah Prancis untuk wilayah Timur Jauh), pernah menulis khusus tentang "jung". Di mata Manguin, kapal raksasa-kapal raksasa yang berasal dari galangan-galangan kapal yang dekat dengan kawasan hutan jati di Cirebon, Jepara, dan Tuban ini adalah kapal dagang utama orang-orang Asia Tenggara. Kelebihan yang paling utama dari kapal raksasa ini adalah kapasitasnya yang sangat besar dan bisa membawa komoditas yang sangat bernilai tinggi jika dibawa dalam jumlah besar pada waktu itu yakni beras.
Catatan paling tua tentang kapal raksasa Asia Tenggara ada dalam catatan Ptolemy, ditulis pada sekitar tahun 100 Masehi. Catatan itu adalah Periplus Marae Erythraensis (catatan laut bagian terluar). Nama kapal raksasa itu adalah "kolandiophonta', yang bisa jadi merupakan adaptasi dari terjemahan Tiongkok "kun lun po". Buku Abad ke-3 berjudul Hal-Hal Aneh dari Selatan karya Wan Chen, menggambarkan bahwa kapal itu mampu membawa 700 orang bersama dengan lebih dari 10.000 kargo (sekitar 250-1000 ton). Kapal ini bukan berasal dari Tiongkok, tetapi dari Kun-lun, yang besar lebih dari 50 meter panjangnya. Tingginya di atas air 4 hingga 7 meter.
Sebuah kamus yang disusun oleh Huei-Lin bertahun 817 menyebutkan bahwa "... kapal laut besar disebut dengan "po". Menurut Kuang Ya, po adalah kapal pengarung samudera. Ia memiliki kedalaman 60 kaki (18 meter). Kapal ini cepat dan membawa 1.000 orang beserta barang dagangannya." Tahun 1322 Odoric Pordenone yang berlayar ke Asia Tenggara menyebutkan bahwa "zunc" membawa sekitar 700 orang baik pelaut maupun pedagang.
Hikayat Raja-raja Pasai menyebutkan, Kerajaan Majapahit menggunakan "jung" secara besar-besaran sebagai kekuatan lautnya. Mereka dikelompokkan menjadi 5 armada. Jumlah terbesar "jung" Majapahit mencapai 400 kapal, disertai jenis Malangbang dan Kelulus yang tak terhitung banyaknya.
Gaspar Correia, penulis sejarah abad 16 dari Portugis mencatat tentang pertemuan Alfonso Albuquerque dengan kapal raksasa Majapahit yang terjadi di Selat Malaka. Pramoedya menyebut, nama kapten terkenal Portugis itu berdasarkan penamaan orang Jawa pesisir yakni "Kongso Dalbi". Catatan Gaspar itu menyebutkan bahwa kapal raksasa itu tidak mempan ditembak meriam yang terbesar. Hanya dua lapis papan yang bisa ditembus dari empat lapis papan kapal itu. Saat kapten mencoba untuk menaikinya bagian belakang kapal Flor de la Mar tidak bisa mencapai jembatannya.
Alfonso Albuquerque sendiri mencatat kalau jung itu memiliki empat tiang layar. Bobot muatannya sekitar 600 ton. Sedangkan yang terbesar tercatat dimiliki Kerajaan Demak dengan bobot mencapai 1.000 ton. Fernao Pires de Andrade mencatat dalam rangkuman Tome Pires kalau kapal itu butuh tiga tahun untuk membangunnya. Konon Albuquerque mempekerjakan 60 tukang kayu dan perancang kapal dari Jawa untuk bekerja bagi Portugis di Malaka. Satu buah jung tercatat berhasil dibawa ke Portugal dan digunakan menjadi kapal penjaga pantai di Savacem.
Pedagang Italia, Giovanni da Empoli, dalam surat-suratnya (1970) menulis bahwa di tanah Jawa, jung tidak berbeda dibanding benteng, karena memiliki tiga dan empat lapis papan, satu di atas yang lain, yang tidak dapat dirusak dengan artileri. Mereka berlayar bersama dengan wanita, anak-anak, dan keluarga mereka, dan semua orang menjaga kamarnya sendiri.
Ciri-ciri Jung Nusantara
Manguin, setelah mempelajari berbagai catatan para ahli membuat beberapa kesimpulan tentang karakteristik "jung" orang-orang Asia Tenggara atau Nusantara.
- Kapal yang sangat besar sekitar 50 meter panjangnya dengan kapasitas angkut 500 hingga 1.000 orang dengan kapasitas beban antara 250 hingga 1.000 ton.
- Tidak menggunakan besi atau paku sebagai teknologi pembuatannya. Orang Nusantara menggunakan pasak untuk merekatkan bagian kapal satu sama lain.
- Dinding kapal terdiri dari lapisan-lapisan papan yang terbuat dari kayu jati.
- Tidak adanya satu jenis kemudi. Ada semacam cadik dengan dua bilah yang ditaruh di belakang dek kapal.
- Kapal raksasa itu menggunakan bermacam layar, mulai dari dua layar hingga empat layar besar, lengkap dengan sebuah busur besar sebagai kemudi angin.
Hilangnya Jung
Anthony Reid berpendapat bahwa kegagalan Pati Unus di Malaka membawa pengaruh yang besar bagi hilangnya kapal-kapal besar dari galangan-galangan kapal di pesisir utara Jawa. Bergesernya kekuasaan Mataram ke pedalaman adalah salah satu yang membuat galangan-galangan kapal yang tersebar di pesisir ditinggalkan. Salah satu pukulan terbesar adalah saat penguasa Mataram menghancurkan sendiri kota-kota pesisir yang menyimpan peninggalan-peninggalan galangan.
Perintah Amangkurat I pada 1655, dicatat Rendra F Kurniawan (2009) sebagai kebijakan represif Mataram yang paling memukul kota-kota pesisir. Perintah dia untuk menutup pelabuhan dan menghancurkan kapal-kapal agar tidak memicu pemberontakan membuat punahnya lapisan ahli-ahli pembuat kapal yang sejak masa Demak sendiri sudah tinggal sisa-sisa.
Kondisi itu semakin diperburuk ketika VOC mulai menguasai pelabuhan-pelabuhan pesisir di pertengahan abad 18. Pada saat itu VOC melarang galangan kapal membuat kapal dengan tonase melebihi 50 ton dan menempatkan pengawas di masing-masing kota pelabuhan. (Y-1)
Komentar
Posting Komentar