Langsung ke konten utama

Perebutan kekuasaan abad 17

Perebutan Supremasi Kekuasaan di Indonesia Timur Dalam Abad XVII


Dengan bermunculnya kapal-kapal bangsa Eropah di perairan Nusantara dalam permulaan abad XVII, terutama di bahagian timur Indonesia, yang secara langsung berlayar ke tempat-tempat penghasilan rempah-rempah, maka mau tak mau akan terjadi persaingan diantara mereka itu sendiri. Selain dari itu Kerajaan Gowa memperluas daerahnya dan memperbesar armada niaganya, sehingga disamping orang-orang Spanyol, Portugis, Belanda, dan Inggris, orang-orang Makassar juga punya andil besar dalam masalah pelayaran ke pulau-pulau penghasil rempah-rempah itu.

Oleh Kompeni Belanda menjadi jelas, bahwa orang-orang Makassar merupakan saingan yang berat baginya. Terlebih-lebih sesudah orang-orang Belanda selesai mengadakan perhitungan dengan orang-orang Spanyol, Portugis, dan Inggris di Maluku, ternyata pelabuhan makassar selalu terbuka bagi bangsa-bangsa ini untuk datang berdagang dan membeli rempah-rempah lebih murah di Makassar dari pada di daerah Maluku sendiri. *1)
Sultan Alauddin


Sesudah Karaeng Tunipasulu dikeluarkan sebagai Raja Gowa XIII dalam tahun 1593, maka iapun digantikan oleh adiknya yang masih berumur 7 tahun, yang bernama I Mangarangi Daeng Manrabia sebagai Raja Gowa ke XIV.

Berhubung karena usianya yang masih sangat muda, maka yang bertindak sebagai walinya ialah pamannya sendiri, ialah Raja Tallo yang bernama I Mallingkaang Daeng Manyonri dan merangkap sebagai mangkubumi Kerajaan Gowa.

I Mangarangi Daeng Manrabia lahir pada tahun 1586 sebagai putera Tunijallo Raja Gowa ke XII. Dua belas tahun lamanya memerintah, Raja ini masuk islam dalam tahun 1605 bersama-sama dengan pamannya, Raja Tallo, pada tanggal 9 Jumadil Awal 1014 Hijriah (22 September 1605). Yang mengislamkannya ialah Khatib Tunggal Abdul Makmur yang berasal dari kota tengah (Sumatera Barat). Di gelar juga Datok ri Bandang dan meninggal di Makassar serta di makamkan di kampung Kalukubodoa. Kedatangan Datok ri Bandang di Makassar tidak langsung dari Sumatera Barat, tetapi dari Johor dimana dia menetap dan berangkat ke Makassar atas perintah Sultan Johor.

Mangkubumi kerajaan Gowa (Raja Tallo) I Mallingkaang Daeng Manyonri setelah masuk islam digelar Sultan Abdullah Awawul Islam, berhubung karena beliaulah yang lebih dahulu mengucapkan kalimat syahadat, kemudian disusul oleh Raja Gowa I Mangarangi Daeng Manrabia dengan gelaran Sultan Alauddin.

Dengan sendirinya maka banyaklah orang-orang yang memeluk agama islam di Gowa dan Tallo. Terlebih-lebih Mangkubumi kerajaan Gowa yang lazim di sebut Karaeng Matuaya sangat bergiat dalam hal ini. Dua tahun kemudian, maka seluruh rakyat Gowa dan Tallo sudah selesai di Islamkan dan sebagai buktinya diadakanlah sembahyang Jumat yang pertama di Tallo pada tanggal 9 November 1607 (19 Rajab 1016).

Penyebaran Agama Islam

Dengan dipeluknya agama islam oleh kedua Raja itu, maka perkembangan agama Islam di Sulawesi Selatan semakin lancar jalannya.

Raja Gowa, Sultan Alauddin, mengirim utusan-utusan ke pedalaman Sulawesi Selatan, yaitu kepada beberapa Raja-Raja, mengajak mereka itu supaya memeluk agama Islam, sebagaimana perjanjian-perjanjian antara mereka itu sebelumnya, bahwa barang siapa diantaranya yang melihat jalan untuk menuju jalan kebaikan, maka dialah yang harus memberitahukan hal itu kepada lainnya.

Oleh beberapa kerajaan kecil maka anjuran Raja Gowa itu diterimanya dengan baik, sehingga pengislaman secara damai di tempat itu. Tetapi dengan kerajaan Bugis yang kuat, terutama "Tellumpoccoe" yaitu kerajaan Bone, Wajo, dan Soppeng, menolak ajaran Raja Gowa, sehingga terjadi perang antara Gowa dengan "Tellumpoccoe".

Mula-mula daerah Sawitto yang di islamkan oleh Sultan Alauddin dalam tahun 1607, kemudian berturut-turut (sesudah dan terjadi pertempuran-pertempuran) Sidenreng dan sekitarnya masuk islam dalam tahun 1608, Soppeng dalam tahun 1609, Wajo dalam tahun 1610 dan Bone dengan resmi memeluk agama Islam dalam tahun 1611. Dalam jangka waktu 4 tahun, maka seluruh Sulawesi Selatan telah di islamkan oleh Raja Gowa Sultan Alauddin secara resmi.

Abraham Sterck berbuat keji

Dalam tahun 1607 setibanya Cornelis Matelief di Ambon, Dia mengirim utusan ke Makassar untuk menyampaikan surat kepada Raja Gowa supaya Raja Gowa jangan mengirim beras ke Malaka dan membuka pelabuhannya untuk kapal-kapal Belanda. *3) Permintaan itu tiada di pedulikan Gowa. Dengan sendirinya merenggangkan hubungan baik diantara keduanya, terutama seketika Belanda telah mulai berhasil memperoleh monopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku. Pedagang-pedagang Eropah lainnya dengan sendirinya memindahkan pusat kegiatannya ke Makassar. Disamping untuk menjual barang dagangan yang dibawanya, juga yang terpenting ialah untuk membeli barang-barang dagangan yang diperlukan, terutama rempah-rempah, kayu cendana dan kayu sapan.

Dengan sendirinya sikap menjauhi dari pihak Komponi Belanda (VOC) mulai nampak. Dalam tahun 1615 Jan Pieterszoon Coen sebagai Direktur Jenderal atas perdagangan Kompeni di Indonesia mempertimbangkan penghapusan kantor di makassar, yang berarti putusnya hubungan baik dengan daerah itu. Tetapi sebelum hal ini merupakan suatu ketetapan, wakil dagang Belanda di Makassar Abraham Sterck atas kuasanya telah meninggalkan kantornya dan memindahkan seluruh inventarisnya ke kapal "Engkhuysen" yang sedang berlabuh di pelabuhan dan berniat berangkat pamit. Akan tetapi masih terdapat piutangnya sama Raja. Oleh sebab itu atas anjurannya, maka kapitan kapal mengundang sejumlah pembesar-pembesar Makassar untuk datang melihat-lihat kapalnya. Setelah pembesar-pembesar itu berada di atas kapal, maka di suruh serangnya untuk melucuti seluruh senjata-senjatanya karena hendak dijadikan sebagai sandra (gijselaar). *4)

Perkelahian pun terjadilah di kapal itu pada tanggal 25 April 1615, menyebabkan kedua belah pihak menderita kerugian. Pembesar-pembesar Makassar yang datang itu kebanyakannya tewas, terkecuali dua orang, yakni Ince Husain (Syahbandar) dan KaraEngta ri Kotengan (salah seorang keluarga raja) terutama dan dibawa ke Banten. Dengan sendirinya ketegangan-ketegangan pun mulailah terjadi, tetapi belumlah secara besar-besaran.

Sultan Alauddin sangat gusar sekali, tetapi masih dapat menahan diri menunggu sampai kedua pembesar itu dikembalikan dengan selamat oleh Belanda. Beberapa buah kapal Belanda yang masih singgah di Makassar masih dietrimanya dengan baik. Tetapi setelah kedua pembesar itu tiba di Makassar dalam tahun 1616, barulah Raja melampiaskan pembalasan dendamnya.

Pada akhir tahun 1616 sebuah kapal Belanda yang bernama "De Eendragt" yang setelah meninggalkan tanah airnya terdampar di pantai barat Australia dan membikin peta sebagian daerah itu. Dari Australia kapal itu tiba di laut Jawa melalui selat Bali dan tanpa mengetahui kejadian itu di Makassar dan penutupan kantor dagangnya, telah berlabuh di pelabuhan Makassar dan telah turun ke daratan. Kapal, muatan dan anak buahnya itu pun menjadi mangsa orang Makassar. Dan mulai pada waktu itulah terjadi perang antara Kompeni dengan Makassar yang berlangsung bertahun-tahun lamanya.

Alauddin meluaskan daerahnya

Lambat laun Sultan Alauddin memperbesar daerahnya dengan jalan memerangi dan menaklukkan daerah-daerah lain. Ia mengirim angkatan perangnya ke Nusatenggara, Kalimantan dan Maluku.

Kecuali pulau Solor yang telah di taklukkannya pada tahun 1602, maka Bima di taklukkan oleh Hulubalang Gowa yang bernama Lokmok Mandalle dalam Tahun 1616, Sumbawa ditaklukkan dalam Tahun 1618 oleh Karaeng Maroanging. *5)

Dalam Tahun 1626 Sultan Alauddin sendiri dengan disertai Mangkubuminya KaraEng Matuaya pergi ke Buton dan Mengalahkan Negeri ini. Pulau Pancana (Muna), pulau-pulau Banggai, pulau G. Api dan kepulauan Sula di taklukkannya pula.

Pada tanggal 3 Juli 1626 Sultan Alauddin kembali dari Buton dan singgah di Bima serta dialahkannya Bima, Dompu, Sumbawa, Kengkelu (Tambora). *6) Dibuatnya perjanjian dengan Bali dan di kalahkannya Kerajaan Kutai dan Berau di Kalimantan Timur. Dan setelah kembali ke Kerajaannya, maka Sultan Alauddin menguasai Maros dan daerah-daerah sekitarnya. *7) Sesudah itu maka Sultan Alauddin menitahkan supaya di buat uang yang berlaku di seluruh daerah di bawah kekuasaannya. Dalam tahun 1629 maka dibuatlah uang yang akan dipakai untuk pertama kalinya di dalam daerah Kerajaan Gowa yang terbuat dari timah.

Setelah benteng-benteng Gowa selesai, yaitu benteng-benteng yang menjadi pelindung benteng Somba Opu (tempat raja bersemayam) maka oleh Sultan Alauddin disuruh dirikannya sebuah benteng (kasteel) yang dinamakannya "Pannakkukang" (Tempat yang merindukan).

Pada tanggal 21 Oktober 1632, Sultan Alauddin berangkatlah pergi ke Tanah Toraja dan pada tanggal 13 November 1632 iapun kembalilah sesudah menaklukkan negeri Bolong. Dalam tahun 1632 ini juga orang Bima mengadakan perlawanan, sehingga terjadi pada tanggal 25 November 1632 Karaeng ri Burakne dikirim ke Bima untuk memadamkan huruhara itu.

Pada tanggal 7 April 1633 tibalah Karaeng ri Burakne dari Bima dan barulah pada tanggal 21 Juni 1633 orang Bima pun datang sendiri menghadap Raja Gowa Sultan Alauddin.

Selanjutnya di riwayatkan, bahwa pada tanggal 17 Oktober 1633 diutuslah Daeng Mangambara dan Daeng Mangalle memerangi Kabaena dan menaklukkan negeri itu. Dan dalam tahun itu juga, maka Gowa membuat kontrak persahabatan dengan Mataram. *8)

Usaha perdamaian Belanda gagal

Dalam tahun 1625 tibalah di Makassar Gubernur Belanda di ambon yang bernama Herman van Speult. Ia mencoba untuk membuat suatu perjanjian persekutuan dengan Makassar, supaya dapatlah lebih dekat untuk mengamat-amati segala gerak-gerik orang Makassar, tetapi tidak berhasil. Sebaliknya Raja Gowa Sultan Alauddin membuat perjanjian dengan Raja Ternate untuk bersama-sama menyerang Belanda di Maluku Utara antara tahun 1627-1630.

Sebanyak mungkin Raja Gowa Sultan Alauddin selalu beriktiar untuk membawa kerugian kepada kepunyaan-kepunyaan Belanda dengan jalan mengadakan perdagangan smokkel (penyelundupan) atau menyerang kedudukan Belanda.

Dalam tahun 1632 tibalah di Makassar Anthony Caen untuk membuat perjanjian dengan Gowa, tetapi usaha Anthony Caen itu tidak berhasil. Bahkan orang Belanda yang ingin sendirian saja berdagang di kepulauan Indonesia, sangat marah sekali dilihatnya kapal-kapal bangsa eropah lainnya sedang berlabuh di pelabuhan Makassar, terutama 2 kapal Deen yang sedang memunggah dan memuat barang dagangan.

Sementara itu Sultan Alauddin terus-menerus memperbesarkan kerajaannya. Dalam tahun 1634 ia memerintahkan supaya Sulawesi Utara yang takluk kepada Ternate, seperti Manado, Gorontalo dan Tomini di rampas. Selanjutnya ia mengirim bala bantuan ke Kimelaha di Luhu (Maluku) untuk merintangi perbuatan orang Belanda yang hendak membinasakan tanaman-tanaman cengkeh di daerah itu.

Untuk memudahkan penjagaan supaya jangan banyak yang terjadi penyelundupan rempah-rempah dari Maluku, maka Kompeni Belanda meluaskan penanaman cengkeh hanya di pulau Ambon saja serta melarang dan membinasakan tanaman cengkeh diluar pulau itu. Dengan jalan ini Kompeni dapat mempertahankan monopolinya dan dapat menentang saingannya. Tetapi namun demikian, Makassar tidak mengakui akan tindakan monopoli Kompeni di Maluku dan membantu rakyat yang memberontak kepada Belanda.

Belanda mulai menyerang

Kalau selama ini pertempuran, orang-orang Makassar dengan orang-orang Belanda hanya terbatas di perairan Maluku, maka sekarang ini tibalah waktunya bagi Belanda untuk menyerang secara langsung di daerah Makassar sendiri.

Pada tanggal 13 Pebruari 1634 datanglah 12 kapal Belanda yang terdiri dari kapal-kapal besar dan kecil. Kapal-kapal itu ditembaki oleh penjaga pantai pada tanggal 19 Pebruari 1634 berhubung oleh karena hendak berlabuh dekat benteng Pannakkukang. Kemudian kapal itu meninggalkan tempat itu.

Pada tanggal 13 Juni 1635 angkatan perang Belanda menyerang lagi dari laut dengan meriam yang memuntahkan pelurunya terhadap pertahanan orang Makassar di Galesong. Sampai pertengahan bulan Agustus, usaha Belanda untuk menduduki dan memaksa Makassar dengan kekerasan senjata ternyata tidak berhasil. Bahkan beberapa orang Belanda di bunuh, diantaranya seorang saudagar Belanda yang bernama van Vliet. *9)

Benteng pertahanan di perkuat

Berhubung dengan telah tampaknya akan kemungkinan-kemungkinan penyerbuan Belanda ke Gowa, maka oleh Sultan Alauddin tidaklah lalai daripada memperkuat bentang-bentang pertahanannya.

Pada tanggal 29 Juli 1634 Sultan Alauddin pergilah berdiam untuk sementara di Pannakkukang dan pada waktu itu dibuatlah lagi sebuah dinding pertahanan sekeliling benteng pannakkukang.

Benteng Ujung Pandang mulai ditembok dengan bata pada tanggal 9 Agustus 1634, juga dengan maksud untuk menjaga setiap kemungkinan penyerbuan musuh dari laut. Sedangkan benteng Barombong pada tanggal 30 April 1635 diperkuat dengan 855 orang dari tentara yang bertugas di Somba Opu. Dan pada tanggal 23 Juni 1635 rakyat Somba Opu dikerahkan untuk membuat dinding kedua benteng Ujung Pandang dekat pintu gerbang. *10)

KaraEng Matuaya mangkat

Selanjutnya dinyatakan bahwa pada tanggal 23 Agustus 1634 KaraEng Balambaru datang menghadap Sultan Alauddin dan mempersembahkan rakyat Sula dan Banggai. Tetapi dari Luwu diperoleh kabar, bahwa rakyat larompong (Luwu) sedang mengadakan huruhara perlawanan, sehingga Tumailalang Karaeng Suli berangkat ketempat itu pada tanggal 6 Januari 1635 untuk memadamkan pemberontakan itu.

Sultan Alauddin mengadakan juga persahabatan dengan Aceh dan Mataram. Beliau disukai oleh rakyatnya karena berbudi baik dan jujur. *11)

Raja Tallo merangkap Mangkubumi Kerajaan Gowa, Karaeng Matuaya mangkat pada tanggal 10 Oktober 1636 dan setelah mangkatnya di gelar juga Tumenanga ri Agamana (yang beradu dalam agamanya).

Sebagai ganti Raja Tallo maka diangkatlah puteranya yang bernama I Mangnginyarang Daeng Makkiok Sultan Muzhaffar, Tumenanga ri Timorok, sedangkan untuk jabatan Mangkubumi Kerajaan Gowa oleh Sultan Alauddin ditunjuklah puteranya yang lain yang bernama KaraEng Pattingalloang untuk menggantikannya. *12)

Sultan Alauddin mangkat

Pada tanggal 23 Juni 1637 Jenderal Antony van Diemen berhasil membuat perjanjian dengan Gowa. Dalam perjanjian ini orang Belanda belum diluaskan untuk tinggal menetap di Makassar.

Sementara itu pada tanggal 12 Pebruari 1638 orang Mandar menyerahkan rakyat Gorontalo kepada Raja Gowa Sultan Alauddin.

Empat puluh enam tahun lamanya Sultan Alauddin memerintah Kerajaan Gowa dan memperluas kerajaannya, akhirnya mangkat pada tanggal 15 Juni 1639. Setelah mangkat, namanya diubah menjadi Tumenanga ri Gaukanna, artinya : Orang yang beradu dalam apa yang dikerjakannya (pemerintahannya). Ia diganti oleh puteranya yang bernama I Mannuntung Daeng Mattola, KaraEng Lakiung, Sultan Muhammad Said sebagai Raja Gowa yang ke-15.
Sultan Muhammad Said lahir pada tanggal 11 Desember 1607. Di beri gelar KaraEng Lakiung. Patimarang kerajaan Goa pada tanggal 13 Agustus 1624 dan dilantik menjadi Raja Goa XV pada tanggal 19 Desember 1639. (Patimarang = putra mahkota, raja muda).

KaraEng Pattingalloang

Sewaktu Sultan Muhammad Said dilantik menjadi raja, maka sebagai mangkubuminya ialah putera KaraEng Matuaya yang bernama I Mangadacinna Daeng Sitaba, KaraEng Pattingalloang, Sultan Mahmud, Tumenanga ri Bontobiraeng. Tetapi namanya yang terkenal jauh keluar dari tanah tumpah darahnya ialah KaraEng Pattingalloang itulah. Dia lahir pada tahun 1600 dan mangkat tanggal 15 september 1654 dalam kedudukannya sebagai mangkubumi kerajaan Goa dan Tallo, serta dimakamkan di Bontobiraeng, maka KaraEng Pattingalloang di gelar juga "Tumenanga ri Bontobiraeng", artinya "Yang beradu di Bontobiraeng"

Dalam buku silsilah dari raja-raja Goa terang tercatat, bahwa KaraEng Pattingalloang adalah seoarang yang bijaksana dan pandai bergaul dengan bangsa-bangsa pendatang dari berbagai-bagai negeri di benua Eropah, karena beliau mengenal juga dengan baik berbagai-bagai bahasa asing, terutama mahir sekali dalam berbahasa Portugis, Spanyol dan Latin. Dan umumnya pembesar-pembesar Goa waktu itu mahir sekali mempergunakan bahasa Portugis.

KaraEng Pattingalloang inilah yang dikarangkan syair oleh Vondel dalam sebuah globe yang terbuat dari kuningan pada tahun 1647 yang dikirimkan oleh pemerintah Belanda (De Bewintheeren der Oost Indishe Maatschappije) kepada KaraEng Pattingalloang sebagai tanda persahabatan. Begitu luas pengetahuannya dan perhatiannya yang besar terhadap ilmu pengetahuan, sehingga oleh penyair Belanda Joost van den Vondel dinyatakan dalam globe yang dikirimkan itu bahwa beliau adalah seseoarang "yang otaknya selalu mencari-cari, dan seluruh dunia terlalu kecillah baginya" (Wiens al doorsnuffelende brein, en gansche weerelt valt ta kliein).

Memperluas Daerah

Pada tanggal 14 maret 1640 raja Goa Sultan Muhammad Said mengedarkan "bila-bila" (undangan) kepada raja-raja yang takluk ke padanya mengundang mereka itu datang dalam tempo sebulan dan pada tanggal 13 April 1640 Sultan Muhammad Said berlayarlah ke Luwu, kemudian ke Coro (dipulau Muna) dan terus ke Dompu, lalu kembali ke Goa. Barulah pada tanggal 18 Juni 1640 rakyat Dompu datang memperhambakan diri kepada Raja Goa Sultan Muhammad Said.

Raja Goa mengedarkan lagi "bila-bila" pada tanggal 23 September 1640 yang ditujukan kepada kerajaan-kerajaan jajahannya supaya datang dalam tempoh 35 hari dan pada tanggal 27 Oktober 1640 bertolaklah Raja Goa Sultan Muhammad Said dari Sombaopu (Makassar) untuk memerangi Walinrang. Baginda menumpang dalam kenaikannya yang bernama I Galle I Nyannyik Sangguk. Walinrang dikalahkannya pada tanggal 15 Desember 1640 setelah mengalahkan negeri Bolong yang terletak di Tanah Toraja.

Membantu Maluku

Walaupun telah ada perjanjian persahabatan antara van Diemen dengan Goa, tetapi Raja Goa dibantu oleh Raja Tallo tetap selalu memberikan bantuannya kepada Kimelaha di Luhu (Ambon) untuk memerangi Belanda. *13)

Adapun Kimelaha itu di akui oleh Sultan Alauddin (ayahanda Sultan Muhammad Said) sebagai Raja Ambon, tetapi sebaliknya Kimelaha diwajibkan membayar kepada Raja Goa wang dan harta benda sebab pertolongan yang diberikan kepadanya itu.

Pada tanggal 23 Januari 1641 maka dikirimlah lagi bala bantuan ke Ambon oleh Sultan Muhammad Said.

Bagi rakyat Ambon (Maluku) terutama dari golongan Islam, maka raja Goa dianggap sebagai satu-satunya tempat untuk meminta bantuan untuk menghadapi tindakan-tindakan Belanda di Maluku dan sebagai pelindung orang-orang Islam di tempat itu.

Kekalahan Bone di Pasempek

Dalam tahun 1640 hanyalah pembesar-pembesar kerajaan Bone dengan pengikut-pengikutnya lari dari Bone ke Goa, sebab takut kemurkaan raja Bone La Maddarammeng, yang digelar Opunna Pakkokongnge.

La Maddarammeng tidak disukai oleh rakyatnya berhubung karena dia memaksa rakyatnya untuk melaksanakan ajaran Islam secara murni. Beberapa kebiasaan-kebiasaan lama yang masih dilakukan rakyatnya, disuruh hapusnya. Dialah juga yang memerintahkan untuk memerdekakan semua hambasahaya dalam kerajaannya.

Tindakan itu ditentang oleh bangsawang-bangsawang Bone, terutama oleh ibunya sendiri, We Tenrisoloreng Makkalaure Datu Pattiro. Bahkan ibundanya inilah yang menjadi penentang utamanya. Oleh sebab itu maka disuruh serangnya Pattiro, menyebabkan ibundanya beserta beberapa pembesar lainnya lari ke Goa minta perlindungan.

Sultan Muhammmad Said memperingatkan La Maddarammeng agar memperbaiki sikapnya terhadap rakyatnya dan berusaha mendamaikan raja Bone dengan pembesar-pembesar yang lari itu, tetapi karena tidak berhasil, akhirnya Goa memerangi Bone.

Pada mulanya Wajo (sebagai sekutu Goa) yang disuruh menyerang Bone dari sebelah utara. Setelah bertempur selama 2 bulan lamanya, maka Arung Matowa Wajo La Isigajang to Bunek gugur dalam pertempuran. Maka tibalah bantuan Goa dan Sidenreng menyerang Bone.

Dinyatakan bahwa pada tanggal 8 Oktober 1643 raja Goa Sultan Muhammad Said sendiri berangkat ke Agangnionjok (Tanete) untuk mengadakan peperangan dengan Bone. Jam 15.00 raja tiba di Pancana dengan 125 buah perahu beserta tentaranya. Atas bantuan orang Sidenreng yang datang memperkuat tentara Goa dan Wajo yang sedang bertempur, Bone dapat dikalahkan dan rajanya lari ke Larompong (Luwu)*14). Tetapi lasykar Goa mengejar terus sampai La Maddarammeng tertawan di Cimpu. Saudara La Maddarammeng, La Tenriaji to Senrima dapat meloloskan diri dan kembali ke Bone.

Orang Bone dengan sendirinya takluk di bawak kekuasaan Makassar dengan suatu perjanjian bahwa mereka itu tetap memegang hak-hak istimewa yang telah diberikan raja Goa kepadanya.

Sebagai pengawas maka raja Goa menempatkan Karaeng Sumanna sebagai "Jannang"*15) sedangkan Tobalang, Arung Tanete sebagai Kadi. *16) Tetapi berhubung oleh karena Karaeng Sumanna merasa kurang mampu untuk menduduki jabatan "Jannang" itu, maka atas usul Karaeng Sumanna dan disetujui oleh Sultan Muhammad Said akhirnya Arung Tobalang yang menjadi "Jannang" di Bone.

Pada tanggal 19 November 1643 raja Goa Sultan Muhammad Said kembali ke Goa setelah mengalahkan kerajaan Bone dalam peperangan di Pare-Pare, sedangkan La Maddarammeng barulah pada tanggal 23 Juli 1644 berada di Makassar.

Saudara La Maddarammeng yang bernama La Tenriaji to Senrima beserta sepupunya, Daeng Pabilla dan Arung Kung, mengadakan perlawanan terhadap Goa. Atas bantuan Raja Soppeng maka dalam tahun 1646 La Tenriaji to Senrima beserta sepupunya telah dapat mengumpulkan suatu kekuatan yang berjumlah 70.000 orang (rakyat Bone dan Soppeng). Oleh sebab itu maka pada tanggal 18 April 1646 raja Goa berlayarlah ke Bone untuk memadamkan perlawanan itu.

Sesudah perlawanan itu dikalahkan dan pemimpin-pemimpinnya itu ditangkap, maka pada tanggal 25 Mei 1646 raja Goa Sultan Muhammad Said kembalilah dari Bone. Peperangan inilah yang dinamai dalam bahasa Bugis "Beta ri Pasempek" (Kekalahan di Pasempek)

Segala hak-hak dan kehormatan-kehormatan yang pada mulanya di biarkan dahulu kepada Bone dicabut dan seluruh negeri termasuk juga Soppeng dianggap sebagai daerah Goa (1646).*17) Sedangkan La Maddarammeng pada tanggal 19 Juni 1646 diasingkan ke Siang (Pangkaje'ne Kepulaan).

Dengan jatuhnya Bone maka Goa memerintah seluruh Sulawesi. Selain dari itu maka daerah-daerah kekuasaan dan pengaruh kerajaan Goa meliputi kerajaan-kerajaan Berau dan Kutai di Kalimantan Timur, Sangir dan Talaud, kepulauan Nusa Tenggara (kecuali Pulau Bali), Marege (Australia Utara) dan kepulauan Maluku Selatan (kecuali Ambon dan Banda).

Hal inilah yang menyebabkan kegelisahan dan menimbulkan kesukaran yang dialami oleh Kompeni Belanda dalam perdagangannya di Maluku. Sebgaimana terjadi pada tahun-tahun sebelumnya mengenai penyerangan yang hebat yeng terjadi terhadap Hitu dan Wawani dalam tahun 1643 dan selanjutnya terjadi berulang-ulang kali dilakukan oleh Makassar, penyebab utama ialah tujuan menghalang-halangi pemusnahan tanaman cengkeh di tempat itu yang dilakukan oleh Belanda. *18)

Arung Palakka

Setelah peperangan di Pasempek berakhir, maka raja Goa Sultan Muhammad Said mengadakan pertemuan dengan sekutu-sekutunya, yaitu, dengan Arung Matoa Wajo La Makkaraka Tapatemoui Matinroe ri Pangaranna dan Datu Luwu La Palisbunga Daeng Mattuju Sultan Ahmad Nazaruddin Matinroe ri Goa. Dalam pertemuan itu ditetapkan bahwa orang-orang Bone yang ditawan karena peperangan itu harus dibagi sama banyak diantara ketiga Raja itu. *19)

Diantara tawanan-tawanan pemberontak Bone itu, maka terdapat seorang Bangsawan muda yang bernama La Tenritatta Toaputunru Arung Palakka, yang dilahirkan di Lamatta (Soppeng) pada tanggal 15 September 1634 *20), ibunya bernama We Tenrisuik Datu Mario ri Wawo putri raja Bone La Tenrirua Sultan Adam yang mangkat di Bantaeng. We Tenrisuik digelar juga Arung Palakka Pattiro karena meratui daerah Palakka wilayah Bone. Sesampainya di Gowa,  La Pottobune, isterinya We Tenri Sui dan anaknya La Tenritatta Toaputunru Arung Palakka diambil oleh KaraengE ri Gowa. Ditempatkan di SalassaE (Istana) Gowa dan ditunjukkan sebidang tanah untuk digarap dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Disitu pulalah membuat pondok untuk ditempatinya.

Karena La Tenritatta Toaputunru Arung Palakka  dianggap masih anak-anak, maka  selalu diikutkan oleh KaraengE ri Gowa apabila bepergian. La Tenri Tatta biasanya ditugasi untuk membawa tombak atau sebagai –pakkalawing epu (pembawa perlengkapan) yang diperlukan oleh KaraengE ri Gowa dalam perjalanan itu. Sejak itu La Tenri Tatta dikenal banyak kalangan, termasuk para anggota Bate SalapangE ri Gowa kemudian  diambil oleh Karaeng Patingalloang untuk diajari tentang adat-istiadat Makassar (Gowa).bahkan menjadi teman sepermainan Sultan Hasanuddin.

Sifat-sifat Sultan Muhammad Said

Sultan Muhammad Said seorang raja yang berani, bijaksana, hormat kepada orang tuanya, dijunjung tinggi oleh anak buahnya, tahu membalas budi serta tidak memperbeda-bedakan antara orang Bangsawan dengan orang kebanyakan. Pandai bergaul dengan sesamanya raja dan dipuji sebagai seorang yang memperlakukan rakyatnya sebagai manusia. Dia bersahabat dengan Gubernur di Manila, Raja Muda di Goa (India), Presiden di Keling (Koromandel), Merchante (saudagar) di Mezulipatan. Bersahabat dengan raja Inggris, raja Portugal, raja Kastilia (Spanyol) dan dengan Mufti di Mekah. Mufti inilah yang mula-mula memberikan gelran Sultan Muhammad Said karena memang nama Arabnya : Malikussaid. *21)

Selanjutnya oleh Sultan Muhammad Said tetap dilanjutkan persahabatan dengan raja-raja Nusantara lainnya, sebagaimana yang telah di bina oleh ayahanda baginda Sultan Alauddin seperti : Bali, Aceh, Banten, dan Mataram.

Pada tanggal 3 September 1646 Sultan Muhammad Said mengawinkan puterinya yang bernama Karaeng Bontojekne dengan Sultan Bima Iyam-Bela dan dalam tahun 1646 ini juga Sultan Muhammad Said mengalahkan Mandar dan rakyat-rakyat lainnya yang belum takluk kepadanya. Diadakannya hakim-hakim untuk mengadili bangsa-bangsa Eropah (1651) yang akan memutuskan segala perkara yang menyangkut dengan orang-orang Eropah. *22)

Pertempuran Laut Makassar-Belanda

Pada tanggal 5 November 1651 bangsa Belanda memajukan permohonan untuk meminta tanah Ambon dari Raja Goa, supaya Goa melepaskan diri dari turut campur tangan dalam masalah Ambon. Dan dalam satu pertempuran laut di dekat pulau Buru, angkatan laut Belandadi bawah pimpinan laksamana de Vlaming telah membinasakan 40 buah perahu perang orang Makassar. Dalam pertempuran ini orang Makassar di serang oleh Belanda bersama-sama dengan orang Ternate.

Orang Ternate pada waktu itu membantu Belanda berhubung oleh karena telah di taklukkannya daerah-daerah Ternate di Sulawesi Utara oleh Goa, sedangkan Raja Goa menaklukkan daerah-daerah itu setelah raja Ternate memberikan hak monopoli cengkeh kepada Belanda di pulau Ambon.

Berhubung dengan terjadinya pertempuran-pertempuran laut antara Goa dengan Belanda di perairan Maluku, maka terdapat gejala kemungkinan penyerangan Belanda di Sulawesi. Itulah sebabnya maka di utuslah Karaeng Katapang pada tanggal 3 Juli 1652 ketanah Mandar untuk membuat pertahanan-pertahanan di tempat itu. Dan pada tanggal 21 November 1652 diterimalah surat dari rakyat Ternate yang dipersembahkan kepada raja Goa, bahwa Sultan Mandarsyah telah diturunkan dari takhta kerajaannya dan digantikan oleh saudaranya yang bernama Manila.

Berhubung dengan gentingnya keadaan di Ambon, maka diutuslah Daeng ri Bulekang pada tanggal 29 November 1652 dengan sebuah angkatan perang untuk menolong rakyat ditempat itu yang mengadakan perlawanan pada rajanya yang telah bersekutu dengan Belanda.

Pada tanggal 27 Mac 1653 muncullah armada Makassar yang terdir dari lebih 100 buah perahu-perang di peraiaran Ambon untuk menyerang dan melemahkan kedudukan orang Belanda di Ambon. Tetapi armada Belanda dibawah pimpinan de Vlaming pada waktu itu telah berada di Buton dan disinilah kedua armada itu bertemu. Dan menurut pihak Belanda, bahwa dalam pertempuran itu tidak ada pihak yang menang atau kalah, berhubung karena malam terlalu gelap menyebabkan usaha Belanda untuk memberiakan kerugian besar kepada armada Makassar tidak tercapai. *23)

Selanjutnya dinyatakan bahwa dalam tahun ini juga (1653) Goa bersekutu dengan Ternate melawan Belanda, maka bertempurlah angkatan laut Belanda dengan angkatan laut Makassar di perairan Ternate.

Pemimpin pemberontakan di Maluku ialah Majira dalam bulan Januari 1653 telah berangkat kembali ke Maluku dari Makassar dengan membawa 30 buah perahu bersenjata lengkap. Selanjutnyakira-kira sebulan kemudian, Arnold de Vlaming tiba juga di Makassar. Ia berusaha untuk menggerakkan hati raja supaya mengirim perutusan bersamanya ke Betawi untuk mengakhiri tegang keadaan antara Makassar denga Kompeni Belanda. Raja menolak hal itu, tetapi menyerahkan sebuah surat untuk Gubernur Jenderal Maetsuyker. Ternyata surat yang dibawah de Vlaming itu hanya bersifat pemberitahuan, bahwa raja ini hidup damai dengan Kompeni, tetapi mengemukakan disampin itu permintaannya supaya rakyat Islam Ambon dan Seram, yang "telah bersedia menyerahkan diri kedalam tangan kita untuk dilindungi hidup dan kepercayaannya" turut dalam perdamaian. Juga disamaikan bahwa ia (raja) akan mengirimkan perutusan ke Ambon untuk menjujungi daerah-daerah dan rakyat tersebut itu tadi.

Bagi Maetsuyker dan dewannya, tulisan ini merupakan suatu "casus belli" dimana raja meninggikan diri sebagai pelindung rakyat yang berada dibawah Kompeni. Dan dalam sidangnya 21 Oktober 1653 mereka memutuskan memaklumkan perang kepada Makassar dan mengadakan persiapan-persiapan yang perlu.

Pertempuran yang sungguh-sungguh terjadi lebih pagi dari yang Belanda sangkakan, karena belum tahun berakhir telah terlibat dalam pertempuran 2 buah kapal Kompeni dalam perjalanan dari Betawi ke Ambon dengan 19 buah perahu-perahu Makassar dekat ujung timur Buton. Walaupun perahu-perahu Makassar itu mengalami kerugian besar, namun berhasil juga menangkap 5 orang Belanda dan membawanya ke Makassar.

Dengan ini dimulailah pertempuran yang dilakukan diberbagai tempat. Majira memimpin pemberontakan terhadap Kompeni di Seram, dimana dia mendapat sokongan ratusan orang-orang Makassar. *24)

Sultan Muhammad Said Mangkat

Pada tanggal 5 November 1653 Sultan Muhammad Said Mangkat mangkat dan di gantikan oleh puteranya yang bernama I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape Sultan Hasanuddin.

Sultan Muhammad Said setelah mangkatnya di gelar juga Tumenanga ri Papanbatuna, orang yang beradu di batu tulisnya, berhubung oleh karena beliau amat pandai sekali menulis huruf Makassar dan huruf Arab dengan bagus dan dengan indahnya. Terlebih-lebih lagi karena beliau memang seorang yang gemar sekali belajar dan menulis.

Dan dibawah pemerintahan Sultan Hasanuddin sebagai Raja Goa XVI perebutan supremasi kekuasaan di Indonesia Timur masih terus berlangsung antara kerajaan Goa di satu pihak dengan Kompeni Belanda di pihak lainnya.

Oleh : H.D. Mangemba
Catatan kaki
*1) F.W. Stapel, Bongais Verdrag, J.B. Wolters, Gronigen, 1922. h.9.
*2) A. Ligtvoet, Transcriptie van het Dagboek der Vorsten van Gowa en Tallo met vertaling en aanteekeningen, B.K.I, 1880, h.86.
*3) B. Erkelens. Geschiedenis van het rijk Gowa, Verhandelignen van het Bataviasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Deel L. Batavia, 1897, h.83: Francois Valentyn, Out-en Nieuw Indien, derde deels tweede stuk, 1726, h.143-144.
*4) F.W. Stapel, Geschiedenis van Nederlandsch Indie, deel III, Joost van den Vondel, amsterdam, 1939, h.193.
*5) I Mamminawang Daeng Mangawing KaraEng Maroanging mangkat pada tanggal 17 Maret 1623 dan pernah menjabat pangkat Tumailalang (Menteri Istana dan Dalam Negeri) Kerajaan Gowa.
*6) A. Ligtvoet, op.cit.h.90.
*7) B. Erkelens, op. cit. h. 84: S.A. Buddingh, Geschiedenis: Het Nederlandsche Gouvernement van Makassar op het eiland Celebes T.N.I. Batavia, 1843.h.435.
*8) A. Ligtvoet, op. cit.h.93-94.
*9) B. Erkelens, op.cit.h.84: Valentyn, op.cit.146.
*10) A. Ligtvoet, op.cit.h.95-96.
*11) G.J. Wolhoff dkk, Sejarah Goa, Jajasan Kebudayaan Sulawesi Selatan & Tenggara, Makassar, 1963,h.61.
*12) Karaeng Pattingalloang baru dilantik tanggal 18 juni 1936 sebagai Mangkubumi Kerajaan Goa..

*13) B. Erkelens. Geschiedenis van het rijk Gowa, Verhandelignen van het Bataviasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Deel L. Batavia, 1897, h.84


*14) B. Erkelens, op.cit.h.85
*15) "jannang" berarti pengawas, komisaris (kerajaan Goa di Bone)
*16) G.J. Wolhoff dkk, Sejarah Goa, Jajasan Kebudayaan Sulawesi Selatan & Tenggara, Makassar, 1963,h.71.
*17) Menurut B. Erkelens, op.cit.h.85, ialah tahun 1643. Tetapi menurut buku harian Kerajaan Goa dan Tallo ialah tahun 1646 (A. Ligtvoet, Transcriptie van het Dagboek der Vorsten van Gowa en Tallo met vertaling en aanteekeningen, B.K.I, 1880, h.107).
*18) B. Erkelens, op.cit
*19) Abd. Razak Daeng Patunru, Sejarah Gowa, Jajasan Kebudayaan Sulawesi Selatan & Tenggara, Makassar, 1971,h.35.
*20) A. Ligtvoet, op.cit.h.95.
*21) G.J. Wolhoff, op.cit.h.69-70.
*22) A. Ligtvoet, op.cit.h.111.
*23) B. Erkelens, op.cit.h.85.
*24) F.W. Stapel, Geschiedenis van Nederlandsch Indie, deel III, Joost van den Vondel, amsterdam, 1939, h.331-332.
.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kerajaan banggae

Diantara kerajaan kerajaan babana Binanga Banggae adalah yang paling kecil wilayah aslinya meliputi kecamatan Banggae dan Banggae timur saat ini yang totalnya sekitar 55 km persegi tapi meskipun demikian kerajaan Banggae sangat diperhitungkan. Nama lain Banggae adalah Majene itu sebutan orang luar untuk Banggae , kerajaan ini punya dua sisi lautan pertama dibagian selatan kedua disisi barat dan saat ini Banggae punya 3 pelabuhan, ditamo, pangaliali dan totoli. Sejumlah kesuksesan militer diperoleh mandar dengan keikut sertaan Banggae seperti perang mandar Bone jilid 1 , perluasan wilayah todiboseang, pada perang Makassar keterlibatan Banggae tidak disebutkan mungkin karna ada konflik Banggae Gowa tahun 1665 meskipun Banggae kerajaan kecil tapi tidak gentar melawan Gowa atau Bone apalagi Gowa saat itu kerajaan terkuat dinusantara timur. Jejak keberanian orang Banggae dapat dilihat pada masyarat pesisir teluk Majene termasuk pula rangas pamboborang dan sekitarnya  Saya...

pemberani dari Sulawesi

Usai perang makassar menurut Belanda makassar adalah paling berani di Hindia Timur, akan tetapi banyak yang tidak menyadari bahwa pada masa itu terdapat pasukan Mandar diantara pasukan terbaik kerajaan makassar. Sejak masa imanyambungi sudah ada orang Mandar yang bertugas sebagai pasukan gowa dan jumlahnya meningkat pada Perang makassar Dalam perang makassar Belanda menyadari ada keistimewaan pada pasukan makassar dari suku Mandar ini, dan tidak pernah dipandang remeh dari semua suku, tentu saja mereka dimasukkan dalam pasukan makassar yang paling berani, disebutkan tentang keistimewaan suku Mandar dalam perang makassar ini bahkan nampak bagi Belanda menonjol diantara pasukan lainnya disulawesi. Disebutkan bahwa pasukan Mandar adalah berani memiliki banyak bedil, tembakannya jitu ahli dalam mencari jejak dan ahli dalam menembakkan sumpit dimana mereka memiliki senjata yang berbisa. Dalam syair perang makassar Mandar adalah satu satunya pasukan yang menolak menyerahkan senjata p...

Mandar Banyuwangi

Tulisan ini pertama saya lihat di grup kampung mandar Banyuwangi tapi sekarang sudah dihapus   Sejarah Kampung Mandar Di Bumi Blambangan (Banyuwangi) Datuk Puang Daeng "Kapitan Galak" Kampung Mandar adalah salah satu kampung tertua yang berada di Kabupaten Banyuwangi kota. Kampung yang terletak di pesisir Banyuwangi kota ini ,memiliki sejarah panjang yang tidak bisa dilepaskan dari era Kerajaan Blambangan dan era Kolonialisme. Saat itu Banyuwangi masih berada pada masa kerajaan Blambangan dan masuknya suku mandar sendiri diperkirakaan pada abad 16/17 atas permintaan Raja Blambangan pada masa itu ,Raja Tawang Alun II (sekitar tahun 1650an,saat Ibukota Blambangan di Macan Putih)  yang memang punya hubungan diplomatis yang baik dengan kerajaan-kerajaan di Sulawesi khususnya. Menurut tutur dari keturunan langsung orang pertama yang membuka dan menempati wilayah kala itu juga diperkuat dari tulisan lontara yang isinya menceritakan pada masa peperangan ...